MENCARI
NUKTAH
KESERAGAMAN ANTAR AGAMA
Oleh:
Munawir Haris, M.S.I.
A.
Pendahuluan
Secara
konstitusional, Pancasila mengakui pentingnya agama dalam kehidupan.1
Hal ini terlihat dengan sila pertama, yaitu ketuhanan yang Maha Esa.
Artinya bangsa Indonesia bebas menganut agama dan kepercayaan
masing-masing sesuai dengan keyakinan. Masyarakat bebas beragama
dengan keyakinan kepada sesuatu yang dianggap benar dan menyakinkan
Agama
sebagaimana dipahami oleh banyak orang adalah sebagai pembimbing bagi
keselamatan hidup manusia. Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya,
naluri untuk beragama itu akan senantiasa selalu ada. Islam sebagai
agama yang menuntut sikap pasrah bulat-bulat kepada Ilahi
sangat mendambakan kedamaian. Maka ketika terjadi berjumpaan antara
sesama Muslim, ucapan “assalamu
alaikum”
atau “kedamaian untuk Anda” merupakan simbol dari harapan
tersebut. Artinya kedamaian yang diinginkan oleh agama ini bukan
hanya kedamaian bagi diri pribadi, akan tetapi untuk pihak lain.
Dengan demikian, tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim
adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw. Man
salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi,
artinya siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan
kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya).2
Agaknya
bukan hanya agama Islam yang mendambakan kedamaian bagi setiap insan,
agama-agama yang lain pun tentunya demikian. Karena secara apriori
tak ada satu agama pun yang lahir di jagad ini yang mendambakan
kekisruhan. Dengan demikian, penting bagi semua umat untuk
dipertemukan nuktah
keseragaman antar agama guna menciptakan kebaikan untuk semua. Nuktah
tersebut tidak hanya bersifat penerimaan dan pengejawantahan akan
nilai-nilai kebaikan umum yang terdapat dalam setiap agama, akan
tetapi penolakan dan perlawanan akan segala jenis jahat yang secara
apriori
disepakati ketidakbaikannya oleh semua agama. Jadi tandasnya ketika
ajaran sebuah agama terjelmakan dalam sistem perilaku, maka segala
sistem tersebut hendaknya mengarah bagi kebaikan untuk semua manusia.
Hal ini tentunya menjadi identitas dari semua agama, yaitu “agama
senantiasa untuk kebaikan manusia.”
Masalahnya,
dalam kehidupan beragama normativitas yang dituntut oleh agama untuk
diejawantahkan kadang terkendala oleh pemahaman yang rigid
dari pemeluknya sendiri. Nuktah
keseragaman untuk bersama-sama beramal saleh dan melawan kejahatan
kadang ditanggapi sebagai pencampurbauran keimanan. Padahal wilayah
ini sudah jelas ditegaskan oleh agama, lakum
dinukum waliya din,
bagimu agamamu (baca; keimananmu), bagiku agamaku. Karena itu, tidak
ada alasan untuk menjadikan keimanan seseorang sebagai ukuran
persaudaraan dan ketidakbersaudaraan. Bukan alasan yang dibenarkan
memberikan batas “kita-mereka” dalam kehidupan bermasyarakat atas
dasar ketidaksepahaman. Kalau hal itu terjadi, maka kedamaian yang
didambakan setiap agama akan terganggu. Malahan sikap anti orang
karena beda iman akan menjadi api kericuhan dan pertikaian.
Telah
disebutkan bahwa fungsi agama adalah sebagai pembimbing, dari itu ia
merupakan berkah dan modal bagi manusia untuk mengarungi hidup. Akan
tetapi, jika agama dipahami secara dangkal, tentunya agama (dalam
arti keberagamaan) bisa menjadi sumber malapetaka. Belakangan ini
kita saksikan berapa banyak orang yang mengklaim kebenaran pemahaman
sepihaknya, sehingga mereka tak segan-segan melepaskan nyawa (baca;
melakukan bom bunuh diri) dengan menyertakan nyawa-nyawa yang tak
berdosa pergi bersamanya atas dalih jihad
fi sabilillah.
Bagi yang rasikh
(dalam) ilmu keagamaannya tentu mereka akan menggeleng-gelengkan
kepala tanda ketakjuban plus
kengerian
akan sikap keberagamaan demikian. Teks bisu, ternyata sedemikian
dasyatnya mengarahkan tindakan pembacanya. Adakah yang keliru dalam
hal ini? Jelasnya kita akan menjawab, ya.
Di
sinilah sebenarnya penghayatan keagamaan yang menyeluruh diperlukan.
Dengan adanya penghayatan keberagamaan yang baik, tentunya akan
melahirkan sikap dan perilaku keberagamaan yang baik pula. Kalau
dihayati misi setiap agama, tentunya akan kita dapatkan bahwa betapa
agama amat sangat menginginkan keselamatan bagi manusia seluruhnya,
dan dari itu akan kita dapati keberpihakan agama untuk manusia.
Dengan keberpihakan ini, konsekuensi logisnya adalah bahwa manusia
dituntut untuk berperilaku sosial yang baik, dan setidaknya tidak
merugikan orang lain.
Tulisan
ini mencoba mengeksplorasi gagasan tentang suara kenabian dalam usaha
mencari nuktah
keseragaman agama, terutama yang terdapat dalam kitab suci
masing-masing, sembari memadukannya dengan keteladanan yang telah
diwariskan oleh pembawanya, yaitu Isa al-Masih (Yesus Kristus)3
dan Muhammad untuk lebih memperjelas dan mempertegas pentingnya
saling menghormati dan saling bersatu padu untuk menolak
ketidakbaikan dan menerima kebajikan umum.
B.
Ber’itibar dari Ten Commandments
Telah
ditegaskan bahwa secara apriori
tidak ada satu agama pun di muka bumi ini yang mengarahkan umatnya ke
dalam jurang kebinasaan, baik secara empirik-mondial maupun
metafisik-eskatologis. Mengapa demikian, karena ketika suatu agama
menyejarah, maka misi utama yang diusungnya adalah salvation
atau keselamatan. Tanpanya agama akan kering dari pengikut dan mati
terbengkalai ditelantarkan. Oleh karenanya, dalam sejarah peradaban
manusia, dalam kelompok setiap umat ada saja seseorang yang diutus
oleh Dzat
yang transenden (baca; Tuhan) untuk membimbing dan menyuarakan
suara-suara kenabian yang hampir secara umum seragam, yaitu
keselamatan.
Dalam
ajaran Taurat, tentu kita sangat mengenal
Ten Commandments yang
diterima Nabi Musa dari Tuhan di gunung Sinai (Exod, 20:1-17).
Berikut ini adalah ringkasan isi dari sepuluh perintah tersebut:
1.
You shall have no other gods except the one true God.
2.
You shall not make for yourself an image to worship.
3.
You shall not use the name of the lord your God in a careless manner.
4.
Remember the sevent day of the week, and keep it holy.
5.
Honor your father and your mother.
6.
You shall not kill.
7.
You shall not commit adultery.
8.
You shall not steal.
9.
You shall not tell a lie about your neigbor
10.
You shall not covet anything that belong to your neighbor.4
Dari
kesepuluh perintah tersebut dapat kita lihat dan pahami bahwa ajaran
yang tertera pada nomor satu sampai empat tentunya masuk dalam
wilayah keimanan masing-masing agama. Di sini tentunya truth
claim
masing-masing pihak tak bisa diruntuhkan. Dalam bahasa al-Qur’an
sering disebut dengan lakum
dinukum waliya din atau
bagimu agamamu (baca; keimananmu), dan bagiku agamaku. Ketika kita
berusaha untuk mendesakkan wilayah ini kepada wilayah keimanan yang
telah dimiliki oleh orang lain, maka usaha tersebut akan berbuntut
pada truth
claim
yang berimplikasi pada saling menutupi diri dan malah saling bertikai
dan melukai. Oleh karenanya, untuk menyikapi hal ini ada baiknya kita
membatasinya, dan kalaupun ada dialog, cukuplah sebagai usaha untuk
memperkenalkan dan bukan untuk memaksakan.5
Berbeda dengan yang di atas, pada bagian kelima hingga kesepuluh
tentunya sangat lentur. Di sini sangat erat sentuhannya pada
nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga tidak ada alasan bagi semua
manusia, baik yang beragama maupun tidak untuk menolaknya. Mengapa
dikatakan demikian, karena fitrahnya manusia memang begitu. Tanpa
ajaran agama pun manusia akan meyakini bahwa tindakan penghormatan
kepada orang tua, menghindari pembunuhan, perzinaan, dan pencurian,
serta berkata jujur dan tidak mendengki akan apa yang dimililiki oleh
tetangga adalah sesuatu yang baik. Adapun tindakan untuk menyalahi
aturan-aturan kodrati tersebut, pasti dianggap oleh seluruh manusia
sebagai suatu kejahatan.
Sebenarnya
sisi inilah yang jarang kita lirik ketika mendialogkan agama. Ketika
kita bersinggungan dengan keyakinan orang lain, yang terungkap
hanyalah truth
claim,
kami-kalian, kita-mereka. Sehingga aku yang begitu besar akan
keyakinan sepihak mendorong kita untuk memaksakannya kepada orang
lain. Padalahal upaya yang seharusnya dalam perbincangan antar iman
sekali lagi panulis tekankan adalah sekedar untuk memperkenalkan dan
bukan memaksakan. Karena keberhasilah suatu agama bukanlah terletak
pada kuantitas pemeluknya, akan tetapi pada tingkatan kesadaran umat
untuk mengaplikasikan nilai-nilai agamanya, terutama moralitasnya.
Tak
jarang kesalahan tersebut terletak pada penyebar agama itu sendiri,
sehingga misi penyelamatan bagi mereka sama dengan misi perekrutan
anggota sebanyak-banyaknya. Padahal menyebarkan agama (apalagi dengan
disertai upaya-upaya culas) pada orang yang sudah beragama adalah
suatu kekeliruan, dan tidak bisa dibenarkan. Perjuangan kaum agamawan
yang menekankan pada perekrutan anggota dan mengabaikan nilai-nilai
kemanusiaan yang diajarkan oleh agama itu sendiri, seperti yang
tertera dalam Ten
Commandments
pada nomor lima hingga sepuluh merupakan upaya yang naif, dan jelas
menunjukkan rendahnya mutu keberagamaan agamawan tersebut.
Dari
sepuluh perintah yang diterima oleh Nabi Musa, enam diantaranya
adalah nuktah
keseragaman agama-agama. Enam perintah inilah sebenarnya wujud
salvation
yang bersifat empirik-eksoterik. Artinya yang dapat disadari dan
dirasai manfaatnya secara langsung oleh umat beragama. Adapun yang
empat merupakan salvation
transendental-esoterik.6
Salvation
empirik-eksoterik jelas sangat fungsional dan melampaui sekat-sekat
agama. Agama manapun, baik itu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha,
maupun Kong Hu Cu akan sepakat mengakui kebenarannya, bahkan mungkin
malah mengklaim bersumber dari ajaran agama mereka. Sedangkan yang
esoterik tentunya berada di luar batas kesadaran agama-agama. Yang
demikian ini sangat transendental, tak ada cara untuk medekatinya
kecuali dengan pendekatan teologis atau keimanan.
C.
Warisan Keteladanan Yesus dan Muhammad
Dari
sudut pandang dua agama besar, yaitu Kristen dan Islam, Musa
merupakan tertua mereka yang sejalur dalam menerima wahyu dari Tuhan.
Sehingga kedua agama besar ini sama-sama mengakui bahwa Tuhannya Musa
juga merupakan Tuhan yang sama dengan yang mereka sembah. Dalam hal
ini tentunya sangat menarik, karena dalam perjalanan sejarahnya
(terutama dalam menerima wahyu), agama yang datang belakangan
mengklaim keunggulan wahyu masing-masing. Meskipun sama-sama mengakui
keberadaan Nabi Musa (bahkan Nabi Isa oleh Islam), kedua agama besar
ini pada kenyataan sejarahnya memiliki keimanan yang berbeda. Inilah
pangkal masalahnya, dan sejarah telah membuktikan betapa klaim
keimanan berubah menjadi catastrophe,
petaka bagi pemeluk agama. Masing-masing pihak mengaku sama benarnya,
sehingga beda iman sama dengan musuh. Tak sedikitpun khususnya dari
agamawan untuk meredam hal ini dengan berusaha melirik pada nuktah
keseragaman, atau malah menekankannya. Parahnya lagi, agama malah
menjadi tumpangan politik untuk memperlancar ambisi mereka. Ini semua
dapat kita pelajari dari perjalanan Perang Salib yang telah menelan
ribuan nyawa dengan jargon berperang dalam “semangat iman”.
Untuk
itu, akankah sekat-sekat ini terus kita pertahankan ataukah mencari
solusi lain untuk membuka wilayah yang lebih luas agar masing-masing
pihak bisa bernafas lega meski berada dalam ruang yang sama? Dengan
melihat tuntutan zaman, tampaknya sikap beda iman sama dengan musuh
harusnya disudahi. Mengapa demikian, karena sikap ini akan terus
menjadi pengganggu dalam kehidupan bermasyarakat, dan bisa-bisa
menjadi sumber dari runtuhnya peradaban manusia.
Keberimanan
adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhan. Sehingga apabila ada
orang yang berbeda keyakinan dengan kita, tentunya bukan hak kita
untuk memaksanya melakukan konversi untuk ikut meyakini apa yang kita
yakini. Dari itu, urusan keberimanan harus betul-betul dilindungi
oleh hukum agar pada urutannya tak ada pemaksaan pihak lain untuk
menjejalkan agamanya pada orang yang sudah beragama. Namun dalam
urusan interaksi manusia dengan sesama, di sinilah ajaran-ajaran
normatif (ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan moral) bisa
dinikmati secara bersama, bahkan bisa dipaksakan kepada individu atau
kelompok yang bersikeras untuk menolaknya. Orang yang bersikeras
untuk mengatakan dan mengamalkan bahwa mencuri dan berzina itu wajib
harus dipatahkan, bahkan jika perlu dipenjarakan manakala dia telah
melakukannya. Ajaran-ajaran moralitas yang diturunkan dari
masing-masing agama inilah yang merupakan ‘Suara Kenabian” dan
merupakan nuktah
keseragaman yang dituntut untuk dipertemukan.
Dalam
Matt. 22:37-40, Yesus mengajarkan: “ You
shall love the Lord your God with all your heart, and with all your
soul, and with all your mind. This is the great and first
commandment. And a second is like it, You shall love your neighbor as
your self. On these two commandments depend all the law and the
prophets”.7
Keharusan
untuk mencintai tetangga sebagaimana kita mencintai diri sendiri
merupakan ajaran yang sangat luar biasa. Keteladanan yang diberikan
oleh Yesus merupakan kekuatan dalam menjalin suatu masyarakat yang
‘empatik’ atau satu rasa. Ajaran-ajaran yang demikian juga telah
melahirkan buku-buku yang sangat berpengaruh dari zaman-kezaman.
Sebut saja misalnya Stephen R. Covey dalam bukunya The
Seven Habits of Highly Effective People,
dan Daniel Goleman dalam Emotional
Intelligence.
Keduanya ingin mengetengahkan betapa bersikap empatik
kepada
orang lain merupakan cara bersosial yang sangat baik. Kita tentunya
tak akan mau menyakiti orang lain, baik dengan ucapan atau tindakan
manakala diri kita sendiri sangat tidak mau kalau disakiti dan
dilecehkan secara demikian. Oleh karena itu, tidak aneh kalau dalam
ajaran agama Islam Nabi Muhammad pun menekankannya. Sabda Nabi: “la
yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi ma yuhibbu linafsihi”,
“tidaklah dikatakan beriman salah seorang dari kamu sebelum dia mau
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” Di
sini Nabi Muhammad tidak hanya sekedar menekankan pentingnya bersikap
empatik, malah beliau mengkategorikan orang yang menolaknya sebagai
orang yang kafir, atau tidak beriman.
Dalam
Matt. 5:21-26 Yesus mengajarkan: “I
say to you that everyone who is angry with his brother shall be (in
danger of) judgment”.
Tak pelak kemarahan akan mendorong seseorang untuk bertindak salah,
bahkan membahayakan orang lain. Seperti halnya seorang hakim,
sekiranya dia memberikan keputusan berdasarkan kemarahan atau sikap
like
or dislike,
boleh jadi dia akan bertindak salah, yaitu dengan mengorbankan yang
benar dan membenarkan yang salah. Nabi Muhammad pun dalam ajaran yang
diterimanya dari Tuhan menyebutkan, bahwa Tuhan telah berfirman dalam
surah al-Maidah/5:8 : “la
yajrimannakum syana’anu qaumin ala alla ta’dilu”,
“janganlah sekali-kali kebencian kamu kepada suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil”. Oleh karenanya, hal-hal yang dapat
mempengaruhi setiap keputusan, terutama pengaruh yang mendorong pada
kesalahan, seyogiyanya ditangguhkan. Artinya, pengambilan keputusan
tersebut semestinya ditunda terlebih dahulu, sehingga kondisi diri
memang betul-betul stabil dan terbebas dari dorongan nafsu negatif.
Abu
Hayan dalam bukunya, al-Bash’ir
wa al-Zawahir,
meriwayatkan bahwa suatu ketika al-Masih bersabda, “Telah
dihamparkan untuk kalian dunia ini, telah didudukkan kalian di
punggungnya, sedangkan aku sendiri tidak beristri, tidak beranak.
Kasurku tanah, bantalku batu, pelitaku bulan. Tiada yang menyaingi
kalian dalam merebut dunia kecuali setan dan para raja. Hadapilah
setan dengan shalat dan ketabahan, dan serahkan kepada raja dunianya,
niscaya akan diserahkan kepada kalian agama kalian. Para raja telah
mengabaikan hikmah agar kalian ambil, maka abaikanlah dunia untuk
mereka ambil.”
Ajaran
moral ini disampaikan oleh beliau di tengah masyarakat yang sedang
bergelimang dalam kemegahan hidup, foya-foya, dan bermuka dua.
Pemuka-pemuka agama hanya terkait dengan bentuk formalitas acara
ritual, namun gersang dan kering jiwanya. Kala itu korban kemegahan
telah jatuh bergelimpangan, sehingga dibutuhkan penyelamatan dari
ganasnya pengaruh dan dampak materialisme.
Dalam
kondisi sosial dan psikologis masyarakat yang demikian, beliau datang
membawa ajaran moral, “celakalah
orang-orang yang kenyang yang tidak menyadari bahwa mereka pada
hakikatnya lapar, yang kaya tapi lupa bahwa mereka butuh. Cintailah
musuhmu. Berbuat baiklah kepada yang membencimu. Berkatilah mereka
yang mengutukmu. Siapa yang menampar pipi kananmu, serahkan kepadanya
pipi kirimu.”8
Senada
dengan apa yang diajarkan oleh Yesus, Nabi Muhammad pun sangat
mengutuk orang-orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedang
tetangganya merintih kelaparan. Dalam sebuah hadis disebutkan, “
la yu’minu ahadukum man baata sya’baanan wa jaruhu juuan.”
Artinya, “tidak dibilang beriman salah seorang dari kamu yang tidur
dalam kekenyangan sedang tetangganya merintih kelaparan.”
Sekali
lagi di sini dapat kita lihat, bahwa orang-orang yang tidak bermoral
-dalam konteks ini adalah mereka yang tidak memiliki kepedulian
sosial,- dikecam oleh Nabi dengan sematan tidak beriman.
Ancaman-ancaman eskatologis yang disindir Nabi bukanlah sesuatu yang
implausible atau tidak masuk akal, karena dalam nalar Arab yang
notabene Mu’min, keyakinan akan adanya surga dan neraka sama
kuatnya dengan keyakinan mereka akan adanya kematian bagi setiap
makhluk yang secara empirik mereka hadapi. Pemisahan antara Mu’min
dan kafir dalam ajaran-ajaran Nabi merupakan simbol yang sharih
atau tegas menunjuk pada pembagian dua ganjaran tersebut yaitu surga
dan neraka.
Sungguh
banyak sekali Suara-suara Kenabian yang sekiranya umat mau
mengaplikasikannya, tentu bukan hanya dapat mendamaikan dunia, bahkan
dapat menyelamatkan dunia dari tangan-tangan jahat yang menolak Suara
Kenabian dengan mendahulukan kepentingan diri yang dangkal.
Permasalahannya
sekat-sekat keimanan telah menjadikan para pemeluk agama menutup diri
dan selalu manaruh curiga kepada pihak lain. Sehingga Suara-suara
kenabian yang ada pada zamannya (ketika Yesus atau Nabi Muhammad
masih hidup) terdengar begitu kerasnya dan bisa menggetarkan
pendengarnya, kini surut tenggelam dan semakin tidak kedengaran.
Orang-orang semakin sibuk dengan urusan agama masing-masing dan
berjuang demi kemanusian berdasarkan persepsi sendiri-sendiri atas
ajaran-ajaran agama, dan pada gilirannya berimplikasi pada munculnya
perjuangan yang parsial-sporadis, dan tentunya tidak efektif.
Keabsahan perjuangan selalu dialamatkan pada kelompok sendiri, sedang
bagi orang lain yang turut membuka praktek yang sama, yaitu berjuang
demi kemanusian selalu dipandang dengan penuh kecurigaan.
Konsep
fastabiqul
khairat
seharusnya tidak disikapi demikian. Karena kompetisi dalam berbuat
baik senantiasa bersifat positif, dalam arti selalu memandang orang
lain dengan pandangan yang baik. Ketika terdapat musuh bersama
seperti korupsi, nepotisme, kolusi, dan segala tingkah laku yang
dapat merugikan orang lain, maka umat ( baca: setiap komunitas yang
memiliki suara kenabian yang sama) mesti bersatu padu
menghancurkannya dengan mengetepikan unsur-unsur keimanan. Dalam hal
pemberontakan terhadap kelaliman, keimanan tidak boleh jadi
penghalang, karena masalah yang dihadapi adalah masalah kemanusiaan.
Maka di sinilah sebenarnya suara kenabian yang terpadu dalam nuktah
keseragaman mendapatkan nafasnya untuk berlega-lega menyelamatkan
manusia.
D.
Penutup, sebuah Refleksi
Sebagai catatan akhir tulisan ini, meminjam
analisa Farid Esack ketika melihat perbedaan di antara umat beragama,
ia menyatakan beragam jalan dan agama yang ada adalah kehendak Allah
agar manusia saling berlomba dalam kebaikan. Dalam perlombaan
tersebut paling tidak ada empat implikasi yang harus disadari oleh
setiap umat beragama. Implikasi tersebut adalah 1). Kebajikan yang
diakaui dan diberi pahala bukan monopuli dari satu pihak yang
berlomba saja. 2). Juri, (dalam hal ini Tuhan), harus berada di luar
kepenting-kepentingan sempit para peseta lomba. 3). Klaim
masing-masing peserta lomba bahwa hubungannya lebih dekat dengan juri
(lebih disayang dari pada yang lain) tidak ada gunnya, bahkan bisa
jadi merugikan dirinya sendiri sebagai perserta lomba. 4). Konpetisi
yang adil itu tidak dapat diketahui hasilnya sebelum lomba berahir.9
Saat
ini, ketika kita menemukan banyaknya pemuka-pemuka agama yang anti
dengan adanya usulan-usulan untuk mempertemukan ajaran normatif agama
dalam hal-hal yang berkaitan dengan moralitas. Ini bisa dipahami,
karena mereka mungkin masih ragu dengan pihak lain. Mengapa demikian.
Tentunya pengalaman pahit sejarah bisa menjelaskannya. Perlombaan
untuk merekrut jamaah adalah salah satunya. Di samping itu
pandangan-pandangan stereotype
terhadap keimanan orang lain juga merupakan masalah lain. Tentu kita
masih ingat tentang istilah filth
atau najis10
yang digunakan oleh orang-orang Kristen terhadap komunitas Muslim di
zaman Perang Salib. Kesan tersebut tampaknya akan terus tereproduksi
dalam alam bawah sadar komunitas Kristen di Barat. Sebaliknya dalam
alam bawah sadar komunitas Muslim pun kesan yang sama akan selalu
tumbuh. Kuatnya pengaruh masa lalu yang pahit membentuk image
masing-masing agama untuk menutup diri, saling mencurigai, dan malah
kebablasan
yaitu dengan tindakan penyerangan.
Untuk
menghilangkan kesan tersebut, pastinya harus terus dilakukan kajian
yang mendalam terhadap praktek keberagamaan masing-masing pihak.
Tanpanya kita akan termuntahkan dalam upaya menjejalkan suara
kenabian. Kelompok-kelompok yang menduduki posisi sentral dalam agama
diharapkan terus keterlibatannya, karena merekalah corong yang
menyuarakan ajaran-ajaran agama. Dari itu upaya penyelamatan terhadap
manusia tidak boleh lagi dinodai dengan tindakan-tindakan yang tidak
terpuji. Urusan keberimanan adalah urusan individu, dan sekiranya
kaum agamawan betul-betul
konsern
terhadap keselamatan manusia (meskipun pemahaman keselamatan berarti
harus memiliki keimanan yang sama dengan para pembawa agama), maka
mestinya mereka harus bisa memastikan bahwa keselamatan dalam
tafsiran sederhananya berarti terbebasnya umat dari kegelisahan atas
paksaan penguasa atau kelompok yang zalim, adanya kedamaian dalam
menjalankan agama, hilangnya rasa was-was dalam menjalani hidup
karena serba kekurangan, hilangnya praktek-praktek kemaksiatan di
masyarakat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang mengganggu
kemanusiaan mereka.
Tak
mudah memang untuk menyuarakan nuktah
keseragaman, di sana sini tentu ada penolakan. Itulah yang namanya
perjuangan, dia tidak akan pernah sepi dari respons-respons yang
bertentangan. Namun upaya untuk memahamkannya kepada masyarakat dalam
lintas agama mestinya harus terus dilakukan. Para mujahid-mujahid
pendamba keselamatan dan kedamaian bagi manusia tidak boleh menyerah.
Kaderisasi harus terus dibangun, karena proyek penyadaran akan
pentingnya hidup bersama dengan damai dan pentingnya mengamalkan
normativitas agama yang berisi pesan-pesan moral kenabiaan butuh
waktu yang panjang. Tanpa kesabaran, suara kenabian niscaya akan
tenggelam, dan kita akan terus dibayang-bayangi ketakutan dalam upaya
menyuarakan pesan-pesan tersebut. wallahu
a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Armstrong, Karen,
Muhammad: A Biography of The Prophet,
Great Britain:Guernsey Press,1991.
Badru D. Katerengga and
David W. Shenk, A
Muslim and Christian in Dialogue,
(Scottdale: Herald Press, 1997).
Burhan Daya, “Agama
Yahudi, Sekitar Sejarah Bani Israil “ Makalah,
(Yogyakarta: ttp 1908).
Mujahiddin Abdul Manaf
sejarah Agama-Agama
(Jakarta: PT Grpindo Persada 1996).
Fahrudin Faiz, “Hubungan
Islam Kristen”, Jurnal
Religi
, Vol 1 No 1 Januari Juni 2002 .
Farud Esack, Librtion
and Pluralisme,
(Oxfod : One Word ,1998).
Fazlur Rahman, Metode
Alternative Newmoderenisme
Islam
(Bandung: Mizan 1986).
Fazlur Rahman,
Tema-pokok al-Quran,
Terj. Anas Muhyiddin, (Bandung: Pustaka 1983). Nurchalis Majid,
Islam Agama
peradaban (
Jakarta: Paramadina 1995).
Frithjof Schuon, Mencari
Titik Temu Agama-agama,
Terj. Safroedin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003).
Goerge B Gres dkk. Agama
satu Tuhan (
Bandung MIzan 1998).
Jam’annuri, Studi
Agama-agama: Sejarah dan Pemikiran,(
Jogyakarta: Pustaka Rihlah 2003).
Jonh H. Hicks, Philosopi
Of Religion (New
Jersere: Prentice Hall, 1990).
Josep Bleicher,
Hermeneutika
Kontemporer, Terj.
Ahmad Norma Permata, (Yogyakata: Pajar Baru, 2003).
Karen Armstrong,
Muhammad: A
Biography of The Prophet,
(Great Britain:Guernsey Press,1991).
M.Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i
atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:Mizan,
1998).
Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta:Paramadina,1992).
Quraish Shihab,
Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an,
(Bandung: Al-Mizan, 2000).
Tarmizi Tahir menuju
ummatanWasathan kerukunan barAgama di Indonesia
(Jakarta PPIM 1998).
W. Posepoprodjo, L PH.
SS, Filsafat Moral,
(Bandung Remaja Karya 1988).
1
Pentingnya agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
karena agama meruupakan rohnya manusia dalam bermasarakatnya. Hal
ini terlihat bahawa manusia tidak hanya terdiri dari jasad kasar,
tapi didalamnya terdapat roh yang maha suci.
2
M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 378.
3
Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta:Paramadina,1992),
hlm. xciv.
4
Badru D. Katerengga and David W. Shenk, A
Muslim and Christian in Dialogue,
(Scottdale :Herald Press, 1997), hlm. 192.
5
Usaha untuk memeperkenalkan dan bukannya memakasakan
dalam dialog antar iman.
6
Istilah esoterik dan eksoterik penulis pinjam dari Frithjof Schuon,
Mencari Titik Temu
Agama-agama, terj. Safroedin
Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 49.
7
Badru D. Katerengga and David W. Shenk, ibid.,
hlm 190.
8
Quraish Shihab, Secercah
Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an,
(Bandung: Al-Mizan, 2000), hlm. 30.
9
Farud Esack Librtion and Pluralisme,
(Oxfod: One Word, 1998) h. 171.
10
Karen Armstrong, Muhammad: A
Biography of The Prophet,
(Great Britain:Guernsey Press,1991), hlm.26.